Dalam beberapa tahun terakhir sejak saya membuat tulisan mengenai spasmofilia di blog ini. Banyak komentar yang masuk, rata-rata sama-sama pengidap spasmofilia atau keluarganya. Kebanyakan baru memeriksakan diri. Ada yang karena defisiensi kalsium, ada punya karena faktor psikis.
Dalam tulisan saya kali ini, saya akan membahas mengenai spasmofilia karena faktor psikis seperti yang saya alami.
Spamofilia, berarti gangguan pada respon syaraf motorik. Saya sudah lama menghilangkan definisi seperti ini dari kepala saya. Dulu saat searching di google yang keluar kurang lebih definisi yang seperti itu. Saat ini saya lebih suka dengan definisi saya sendiri, yaitu ‘kurang enak badan, karena otot yang tegang’.
Disederhanakan, agar respon tubuh dan otak juga menjadi sederhana dalam menghadapi ini. Ketakutan sering menjadi lebih besar karena pikiran menganggap hal yang dihadapi itu besar. Dalam beberapa bulan terakhir ini saya merasakan revolusi yang besar dalam hidup bersama spasmofilia. Banyaknya pertanyaan yang masuk ke blog saya membuat saya merasa berbagi lagi mengenai spasmofilia menjadi hal yang sangat perlu bagi sesama pengidap spasmofilia.
Sempat terpikirkan, untuk menghapus postingan yang isinya curhat betapa berat menghadapi ini semua. Postingan demikian ibarat memantik ketakutan dan pemikiran negatif. Tapi setelah saya pikir lebih jauh, itulah bagian perjuangan saya dalam menghadapinya hingga mencapai titik ini.
Tiga hari yang lalu saya melakukan sebuah perjalanan nekat. Mengendarai motor Semarang- Kendal – Semarang (PP) dalam waktu tempuh 2.5 jam. Saat itu saya hendak mengantarkan proposal permohonan kerja praktek di sebuah PT pengolahan gas. Setelah mengantarkan proposal, saya langsung pulang ke Semarang. Biasanya bisa ditempuh 2 jam, tapi saat itu sangat macet. Pemilik kendaraan bermotor seperti saya harus berjalan di sepanjang bahu jalan yang berbatu. Atau masuk lagi ke jalan raya sembari masuk di antara truk. Pengalaman yang tidak saya sangka bisa saya alami lagi. 3 tahun yang lalu pengalaman tersebut serasa mustahil. Bagaimana tidak, bangun dari tempat tidur pun tidak bisa. Apa-apa lemas, bahkan semangat hidup tergerus ujian kehidupan.
Perjalanan pergi cukup mulus, belum terasa apa-apa. Saat perjalanan pulang kesabaran di uji. Mendadak tangan saya tegang. Terasa kram sekali, seakan-akan tangan saya membatu. Untuk sekian menit saya merasakan sakit yang cukup menyiksa, agak berlinang air mata sedikit. Serasa mau menyerah dan menepi. Tapi bagaimana mau menepi kondisi saat itu sangat padat, kendaraan dari arah belakang akan membunyikan klakson bila berjalan lambat.
Kemudian saya bernisiatif meregangkan tangan sambil melakukan gerakan yang sekiranya bisa melemaskan otot-otot saya. Alhamdulillah cara ini berhasil, sekitar 30 menit menahan sakit perlahan ketegangan semakin berkurang. Disambi dengan motivasi di dalam diri ‘kalau sebentar lagi pasti akan sampai’. Kemudian saya sampai di kost dengan sukses. Yeayyyy, ini pencapaian.
Kemudian esok hari badan serasa kurang nyaman. Yang saya lakukan beristirahat, sembari mengoleskan minyak angin di area yang tegang. Dan berangsur-angsur kondisi badan saya kembali seperti sedia kala. Tidak ada batas bagi pengidap spasmofilia untuk melakukan kegiatan fisik yang diinginkan, asalkan ‘tidak meragukan kemampuan diri sendiri’.
Lalu bagaiaman bila pemicunya bukan kelelahan, melainkan stres. Perhatikan kondisi fisik saat mengalami stres yang berlebih, biasanya ada anggota tubuh tertentu yang mengalami rasa tegang. Kalau saya pribadi saat stres karena hal tertentu otot-otot kepala dibagian pelipis kiri dan kanan seakan tertarik kebelakang dan membuat saya merasa tidak nyaman. Bila hal ini terjadi saya mengambil posisi tubuh paling nyaman, mengkonsumsi air putih, sembari memijat dengan lembut di area yang tegang. Bila ini belum berhasil saya kembali menggunakan trik minyak angin dan tidur.
Bagi saya pribadi ‘tidur adalah penyembuh yang paling aman dan murah’. Biasanya setelah bangun tidur saya merasa lebih baikan. Sudah kurang lebih 4 bulan terakhir ini saya sama sekali tidak mengkonsumsi obat-obatan. Sekitar 5 bulan yang lalu kondisi fisik saya mendadak menurun, awalnya saya pikir karena tipes. Karena saya rentan mengalami tipes. Ternyata liver mengalami pembengkakan. Kemudian saya beralih ke pengobatan tradisional untuk mengobati liver, lewat konsumsi jamu.
Lewat kejadian bengkak nya liver saya anggap sebagai berkah. Sejak November 2011 yang lalu saya termasuk yang cukup rutin mengkonsumsi diazepam (valium). Di awal diagnosa 6 bulan rutin mengkonsumsi jenis obat tersebut setiap hari. Tentunya sesuai dengan resep dokter. Awal konsumsi saya diberi dosis 0.75mg/ hari. Kemudian dosisnya diturunkan hingga 0.5mg/ hari sebelum saya berhenti total. Dulu saya pikir, saya akan seumur hidup mengkonsumsi obat tersebut. Karena dulu, saya hampir tidak bisa beraktifitas tanpa minum obat. Mungkin karena suggesti bahwa ‘saya bisa tanpa obat’ kurang di dalam diri saya. Setiap ada gejala sakit mendadak saya menjadi parno dan langsung meneguk obat tanpa pikir panjang.
Mungkin ada teman mengkonsumsi jenis obat penenang yang lain semisal xanax (aprazolam). Kebanyakan diberikan resep demikian agar lebih mudah beristirahat dan menekan stres di dalam diri pasien. Tapi kebanyakan malah menjadi ketagihan. Saya sempat menjadi orang yang kebingungan saat rutin mengkonsumsi obat ini, kehilangan fokus, dan sulit mengingat. Salah satu cara bagi saya untuk memberi rangsangan pada otak saya dengan menulis di blog ini.
Banyak tulisan yang dibuat di blog ini dalam kondisi setengah sadar. Entah sambil menahan sakit atau kurang fokus. Gangguan lainnya yang saya alami dan cukup mengganggu adalah kata yang saya ucapkan dan yang saya pikirkan berbeda. Ini seringkali terjadi dan membuat orang yang berkomunikasi dengan saya bingung. Dan sisi yang paling tidak saya sukai saya mendadak jadi sentimentil dan sulit mengontrol diri di saat tertentu. Di satu titik saya merasa saya gila. Sampai kebingungan bagaiamana cara untuk keluar dari kondisi ini?.
Kembali ke liver, sejak liver saya bengkak fokus saya beralih. Yang saya inginkan hanya ingin sembuh dari liver. Rasanya sedih sekali saat tau liver saya bengkak. Awalnya saya sadar, karena kelopak mata saya 1/3nya berwarna sangat kuning. Kemudian saya menemui dokter dan melakukan pemeriksaan darah untuk hepatitis. Ternyata negatif, akhirnya diketahui bahwa liver saya bengkak karena faktor obat.
Ada salah satu jenis obat yang rutin saya konsumsi setiap hari berdampak negatif ke liver. Tapi, karena saya tau pemicunya obat-obatan saat ini saya menjadi selektif dalam mengkonsumsi obat-obatan.
Saya termasuk jenis orang yang sangat menyukai sayur dan air putih, saya sangat bersyukur dua jenis kebiasaan saya dalam mengkonsumsi hal tersebut membantu pemulihan saya. Karena pembengkakan liver itu pula saya bisa benar-benar bersih dari obat dan mencari cara untuk tetap menstabilkan kondisi tubuh.
Jujur, awalnya berat. Apalagi dengan kondisi liver yang bengkak, badan saya ikut membengkak, dan sangat mudah lemas. Dalam beberapa bulan terakhir saya fokus berobat. Kenapa akhirnya saya berbagi pengalaman ini. Karena setiap orang yang diresepkan obat perlu lebih protektif terhadap dirinya sendiri. Bila tidak nyaman dengan obat atau dosis yang diberikan segera konsultasikan, begitu pula penggunaan obat-obatan tertentu dalam jangka waktu lama harus dalam pengawasan. Bila perlu lakukan pengecekan berkala lewat tes darah, atau tes yang lain sesuai kebutuhan.
Yang ingin saya sampaikan saat ini adalah ‘tiap orang bisa menghadapi spasmofilia tanpa obat asalkan yakin dengan diri nya sendiri’. Dan dibalik keyakinan terhadap diri ada kuasa Tuhan yang bekerja disana. Apapun agama anda saat ini, karena saya beragama islam saya sangat meyakini bahwa pertolongan Allah itu dekat, kuasaNya melebihi jangkauan pikiran saya. Dan sampai di titik saya melewati banyak kesakitan, Allah memampukan saya, tidak ada kemampuan kecuali karenaNya.
Tidak bisa saya pungkiri, keyakinan yang besar terhadap Tuhan, kemudian suggesti yang besar terhadap diri yang membimbing saya berada di titik ini. Di titik meresapi kegiatan harian yang bisa dilakukan adalah kebahagiaan. Saat saya mengingat hari-hari dimana saya menghabiskan waktu di tempat tidur karena lemas atau kejang, membuat saya sangat bersyukur atas progress apapun yang bisa saya hasilkan untuk diri saya dan orang-orang di sekitar saya.
Bagi yang saat ini semangatnya sedang menurun, sesekali kunjungilah panti asuhan. Dulu, saya menemukan awal semangat hidup saya disana. Saat menghadapi anak-anak, saya merasakan ikatan batin yang kuat untuk mengabdi disana. Mengajar. Saat itu saya merasa, dalam kondisi seperti ini ‘berguna bagi sesama’ adalah pemantik semangat yang luar biasa. Semakin banyak yang kita bagi, bukan mereka yang semakin diuntungkan. Tapi justru yang berbagilah yang semakin kuat.
Akan selalu ada kekuatan tersembunyi dibalik kelemahan, don’t give up too fast. when still can breathe, there are so many possibility we can reach.
Tetap semangat ya, dimanapun berada. Semoga menginspirasi.
Salam peluk hangat dari Semarang