Beberapa saat yang lalu saya mengikuti seminar pembekalan kerja yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia Universitas Diponegoro bertemakan “Menjadi Sarjana Teknik Kimia yang Kompetitif di Dunia Kerja”. Seminar tersebut menghadirkan pembicara alumnus Universitas Diponegoro tahun 1977 -Dr. Ir. Arnold Soetrisnanto-, yang saat ini bekerja sebagai Senior Advisor PT. Medco Power Indonesia dan Anggota Dewan Riset Nasional. Sebelum bekerja di Medco, beliau adalah peneliti di BATAN dan sempat mengepalai riset terpadu guna rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Muria.
Dalam seminar kali ini, pembahasan lebih banyak mengacu pada masalah-masalah yang terjadi di Indonesia kini. Harapannya dengan mengetahui hal ini, seorang lulusan teknik kimia mampu berfikir secara luas dan terbuka untuk menjadi problem solver ditengah berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia.
Pembahasan dalam seminar ini luas dan sangat menarik. mulai dari dunia kerja seorang lulusan teknik kimia, ekspor-impor, energi (minyak, gas, nuklir), dan PLTN sebagai solusi krisis energi kelistrikan. Pembahasan akan saya bahas dalam 2 tulisan lagi agar pembahasan bisa lebih spesifik dan tidak terlalu meluas dalam tulisan saya kali ini. Harapannya dengan membaca tulisan saya kali ini seorang lulusan teknik kimia dari universitas manapun mampu memahami perannya di dunia kerja.
Seorang lulusan teknik kimia bisa bekerja di bidang pemerintahan, akademisi, maupun industri. Dimana ketiganya terkorelasi satu sama lain. Di bidang pemerintahan yang mengatur kebijakan dan pengaturan memerlukan akademisi untuk pengkajian, sehingga keputusan yang diambil tepat. Dalam pelaksanaan pengembangannya, khususnya yang berkaitan dengan engineering practice bekerja sama dengan dunia industri.
Sebagai contoh study case, dulu pengembangan biodiesel di Indonesia dari biji jarak merupakan salah satu program yang diusung pemerintah. Program ini bertujuan menghadirkan energi alternatif yang ramah lingkungan. Disamping itu, harapannya dengan lahirnya subsider bagi solar, bisa mengurangi konsumsi solar dalam negeri dan berefek pada rupiah yang bisa dihemat untuk disalurkan pada pos diluar minyak. Keputusan pemerintah yang diambil saat itu (2007) menurut Pak Arnold adalah langkah yang terburu-buru. Karena sebenarnya banyak kebijakan publik negeri ini yang terlalu di politisasi. Ingin show up, tapi minim riset sehingga program pada akhirnya mandek.
Mengapa disebut program yang terburu-buru?. Saya pernah berkunjung langsung ke PTPN IX regional Jawa Tengah. Saat itu saya membutuhkan data yang akan saya gunakan untuk mengerjakan tugas kuliah. Saya terlibat diskusi mengenai penanaman pohon jarak pagar yang kini tinggal kenangan. Untuk wilayah regional Cilacap ada 350 Ha yang ditanami tanaman jarak pagar, dengan potensi penanaman 2400 Ha. Mendapatkan bantuan 1 unit alat pengolah biji jarak dari DEPERINDAG RI dengan nilai investasi 10 milyar (sumber). Program jarak tersebut kini mati, adapun warga setempat tahun 2012 mengembangkan biji nyemplung sebagai biofuel untuk penggunaan skala kampus ataupun riset yang dijual Rp.15000 / liter (sumber).
Itu baru untuk satu regional Cilacap, saat itu ada beberapa daerah yang ditanami pohon jarak pagar secara besar-besaran yang ditangani oleh PTPN IX, dan kini telah mati. Setelah ditanami pada akhirnya harus dibabat habis juga, karena ternyata tanaman jarak pagar yang ditanami spesiesnya tidak cocok untuk bahan baku pembuatan biodiesel. Saat itu pemerintah mengira semua spesies tanaman jarak pagar bisa dibudidayakan untuk bahan baku pembuatan biodiesel, dan ternyata anggapan ini keliru. Spesies yang ditanam tidak cocok, bayangkan berapa banyak uang yang terbuang sia-sia untuk program ini karena terburu-burunya pemerintah menangkap antusiasme positif masyarakat yang merasa program pemerintah yang saat itu *wah* mendukung stabilitas energi nasional dari dalam negeri dan ini jarang terjadi.
Inilah yang dibahasakan oleh Pak Arnold sebagai politisasi. Minimnya kerja sama dengan peneliti membuat kesalahan di atas terjadi. Disamping itu pengembangan sebuah program dalam jangka panjang dan berkelanjutan juga memerlukan ketersediaan bahan baku yang cukup dan stabil. Jadi riset awal haruslah dititikberatkan pada spesies yang akan menjadi bahan baku dan bagaimana memastikan stock nya selalu ada sepanjang tahun agar proses produksi berkelanjutan.
Yang rugi dalam hal ini tidak hanya pemerintah, tapi juga petani yang ikut menanami lahannya dengan tanaman jarak pagar, serta beberapa perusahaan yang telah membangun plant pengolahan biji jarak pagar menjadi biodiesel. Jangan heran kalau banyak yang skeptis dengan pemerintah soal keseriusannya terhadap pengadaan energi alternatif di Indonesia. Untuk itulah perlu banyak engineer yang duduk di pemerintahan untuk memberi pemahaman yang berkaitan dengan kebijakan publik yang berkaitan dengan masalah seperti ini. Perlu banyak engineer di bidang riset untuk menghadirkan solusi-solusi alternatif bagi masalah nasional di bidang pangan maupun energi. Perlu banyak engineer yang menjadi motor di Industri untuk menghasilkan lebih banyak produk yang memenuhi kebutuhan pasar domestik nasional.
Lulusan teknik kimia diharapkan mampu mengambil peran serta memiliki tanggung jawab yang tinggi sebagai problem solver. Benar-benar berfikir secara spesifik mulai dari input hingga mencapai output, reaksi sampai dengan akumulasi di dalamnya. Memajukan Indonesia lewat pengetahuan yang dimiliki dengan menjadi yang terbaik di bidangnya, itu yang diharapkan. Tidak hanya berfikir ‘kuliah’ kemudian ‘selesai’ dan ‘sudah’ seperti itu saja, tanpa memberi nilai tambah positif apa-apa terhadap masyarakat.
Teknik Kimia … Jaya!!!… Jaya… Teknik Kimia!!!… Teknik Kimia Jaya!!!…. Aamiin
———–
Semarang, cuap-cuap yang hampir mengalami bifurkasi